:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4667377/original/084999300_1701238154-Earth.jpg)
Liputan6.com, Jakarta – Para ilmuwan menemukan penyebab rotasi bumi berubah selama dua dekade terakhir. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science ini mengungkapkan bahwa ada pergeseran pada poros bumi sejak awal 2000-an, sekitar 45 sentimeter (cm).
Melansir laman Science pada Rabu (23/04/2025), pergeseran ini bukan disebabkan oleh perubahan pada inti bumi, pencairan lapisan es, atau rebound glasial (pemulihan tanah setelah ditinggalkan es), melainkan karena hilangnya kelembapan tanah secara masif. Studi ini mencatat bahwa hanya dalam kurun waktu tiga tahun, dari 2000 hingga 2002, lebih dari 1.600 gigaton air tanah hilang dari permukaan bumi.
Jumlah yang bahkan lebih besar daripada massa es yang hilang dari Greenland selama periode yang lebih panjang. Begitu air tanah ini mengalir ke lautan, redistribusi massa yang dihasilkan menyebabkan ketidakseimbangan baru pada struktur rotasi planet, sehingga memengaruhi posisi sumbu rotasi bumi secara nyata.
Tim peneliti yang dipimpin oleh ilmuwan dari Seoul National University, Korea Selatan, menggunakan kombinasi data dari radar satelit serta model kelembapan tanah untuk melacak kenaikan permukaan air laut dan merekonstruksi perubahan cadangan air bumi dari akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Mereka menemukan bahwa antara tahun 2000 dan 2002, terjadi penurunan kelembapan tanah secara tajam dan tiba-tiba.
Kehilangan ini berkontribusi terhadap kenaikan permukaan laut global rata-rata sebesar 1,95 mm setiap tahun selama periode tersebut. Namun, krisis tidak berhenti di sana.
Dari 2003 hingga 2016, bumi kehilangan sekitar 1.000 gigaton air tanah tambahan. Bahkan pada 2021, tingkat kelembapan tanah global belum sepenuhnya pulih, menandakan adanya pergeseran yang berkelanjutan dalam penyimpanan air tanah dunia.
Kondisi ini diperkuat oleh dua indikator penting, kenaikan permukaan laut yang terus berlanjut dan pergeseran kutub rotasi bumi yang dapat diukur secara langsung. Para ilmuwan sebenarnya telah lama memahami bahwa pergerakan massa berskala besar, seperti hilangnya lapisan es atau pengangkatan daratan pasca-pencairan gletser, dapat memicu pergeseran sumbu bumi.
Bahkan redistribusi massa yang relatif kecil sekalipun dapat menggeser garis imajiner tempat bumi berputar. Menurut hasil penelitian, pergeseran kutub sebesar 45 cm pada awal 2000-an sangat berkorelasi dengan wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan paling parah, termasuk Asia Timur, Asia Tengah, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Afrika Tengah.
Ketika air menghilang dari wilayah-wilayah ini dan kemudian tersebar lebih merata ke seluruh samudra, distribusi ulang massa ini secara langsung memengaruhi arah rotasi bumi.
Dampak Pergeseran Rotasi
Dampak dari pergeseran rotasi bumi bukan hanya bersifat geofisika, tetapi juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan modern. Salah satu dampak yang paling nyata adalah potensi gangguan pada sistem navigasi satelit seperti GPS (Global Positioning System).
Sistem ini sangat bergantung pada posisi dan orientasi bumi yang presisi untuk memberikan akurasi penentuan lokasi, sehingga perubahan pada rotasi bisa mengakibatkan kesalahan kecil yang berdampak besar dalam sektor-sektor seperti penerbangan, pelayaran, dan teknologi komunikasi. Selain itu, pengeringan tanah menyebabkan penurunan laju penguapan, yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan lokal dan penurunan curah hujan.
Hal ini dapat memperburuk kondisi kekeringan, mengancam hasil pertanian, mengganggu ekosistem lokal, serta mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap karbon dari atmosfer, faktor penting dalam mitigasi perubahan iklim. Tak hanya itu, karena cadangan air tanah berkurang drastis, masyarakat di berbagai belahan dunia kini terpaksa meningkatkan pemompaan air tanah untuk kebutuhan domestik, industri, dan pertanian.
Aktivitas ini, jika tidak dikendalikan, berpotensi memicu penurunan muka tanah (land subsidence) dan mempercepat kerusakan ekosistem bawah tanah.
(Tifani)