:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5225478/original/061670300_1747707107-20250520-Israel_Buka_Blokade-AFP_4.jpg)
Liputan6.com, Gaza – Rasa lapar yang terus mencengkeram Gaza berubah menjadi keputusasaan kolektif pada Sabtu (1/6), ketika ratusan warga sipil menyerbu truk-truk bantuan yang membawa makanan. Program Pangan Dunia (WFP) mengungkapkan bahwa kekacauan itu terjadi saat mereka mencoba menyalurkan 77 truk berisi tepung ke wilayah yang dilanda krisis kemanusiaan tersebut.
“Semua truk dicegat di sepanjang perjalanan. Makanan diangkut oleh orang-orang yang kelaparan dan hanya ingin memberi makan keluarganya,” kata WFP dalam pernyataannya, dikutip dari BBC, Minggu (1/6/2025).
Karena risiko konvoi tidak akan pernah mencapai gudang penyimpanan sangat tinggi, WFP akhirnya memutuskan untuk membiarkan masyarakat mengambil bantuan langsung di lokasi. Juru bicara WFP, Abeer Etefa, mengatakan kepada BBC bahwa situasi itu tidak ideal, namun merupakan keputusan darurat yang harus diambil.
Meski Israel telah melonggarkan blokade bantuan pada 19 Mei setelah lebih dari dua bulan penutupan total, PBB menyatakan bahwa volume bantuan yang berhasil masuk masih jauh dari cukup. Hanya sekitar 10% dari kebutuhan minimum harian warga Gaza yang terpenuhi dalam sepekan terakhir.
Menurut Etefa, kerumunan warga yang menyerbu truk berasal dari kabar bahwa makanan akan tiba. “Mereka adalah orang-orang putus asa yang tidak sanggup menunggu hingga bantuan mencapai titik distribusi resmi,” ujarnya.
Untuk menghindari penyergapan oleh kelompok bersenjata, WFP memilih rute yang lebih dekat dengan permukiman warga dan dianggap lebih aman. Para relawan sempat menginstruksikan warga untuk hanya mengambil satu kantong tepung per orang. Namun, dalam kondisi tanpa kendali, mustahil memastikan keadilan distribusi.
“Setelah hampir 80 hari tanpa pasokan makanan yang memadai, truk bantuan seperti ini tak mungkin dibiarkan lewat begitu saja,” kata Etefa menambahkan.
Sebuah penilaian bersama yang didukung PBB menyatakan bahwa seluruh penduduk Gaza kini berada dalam kondisi rawan kelaparan akut. Dua juta orang disebut berada dalam kebutuhan mendesak akan makanan.
Meski blokade telah sedikit dilonggarkan, distribusi bantuan tetap mengalami hambatan besar. “Truk memang mulai bisa bergerak, tapi tidak dalam jumlah dan skala yang cukup untuk menenangkan situasi. Kekacauan ini masih jauh dari terkendali,” kata Etefa.
Israel menyatakan bahwa pembatasan diberlakukan untuk menekan Hamas agar membebaskan para sandera yang masih ditahan, setidaknya 20 di antaranya diyakini masih hidup. Namun, situasi kemanusiaan terus memburuk.
Langit malam di Gaza kembali diterangi flare saat serangan udara Israel berlanjut. Sementara itu, Gedung Putih mengumumkan bahwa AS telah mengajukan proposal gencatan senjata baru yang disetujui oleh Israel.
Bantuan yang Minim
… Selengkapnya
Kepala Badan Pengungsi Palestina PBB, Philippe Lazzarini, menyoroti minimnya jumlah truk bantuan yang berhasil masuk. “Sebanyak 900 truk dalam seminggu terakhir hanya mencakup sedikit lebih dari 10% dari kebutuhan harian. Ini adalah ironi tragis yang terjadi di depan mata kita,” tulisnya di media sosial X.
Militer Israel, melalui lembaga Cogat, menuding PBB tidak mendistribusikan bantuan yang sudah berada di Gaza. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Israel mengklaim bahwa ratusan truk masih menunggu di perbatasan.
“Lebih banyak bantuan bisa sampai ke rakyat jika Anda mau mengambil apa yang sudah menumpuk di penyeberangan,” ujar Cogat kepada PBB di X.
Jonathan Whittall, pejabat regional dari kantor kemanusiaan PBB, menyebutkan bahwa penyaluran bantuan terkendala oleh banyak faktor: rute yang tidak layak, keterlambatan izin dari otoritas, dan kerumunan massa yang tak terkendali. Di samping itu, meningkatnya kekerasan di sepanjang jalur distribusi memperburuk situasi.
Sementara itu, upaya bantuan juga datang dari organisasi baru yang didukung oleh AS dan Israel. Lembaga bernama Gaza Relief Foundation mengklaim telah membagikan dua juta porsi makanan dalam sepekan terakhir, meski data tersebut belum bisa diverifikasi secara independen oleh BBC. Namun, kekacauan juga dilaporkan terjadi di titik-titik distribusi bantuan ini. PBB menolak terlibat dalam operasi tersebut karena dinilai bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.
Serangan Masih Berlangsung, Korban Terus Bertambah
… Selengkapnya
Di tengah upaya penyelamatan warga sipil, serangan udara Israel tetap berlanjut. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim telah menyerang puluhan sasaran militan di seluruh Jalur Gaza dalam 24 jam terakhir.
Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas melaporkan bahwa 60 orang tewas dalam kurun waktu tersebut. Jumlah ini belum termasuk korban dari Gaza Utara, di mana rumah sakit terakhir terpaksa tutup pada Kamis lalu akibat perintah evakuasi dari militer Israel.
Christos Georgalas, seorang dokter bedah asal Yunani yang hingga 21 Mei lalu bertugas di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis, mengatakan kepada BBC bahwa sebagian besar pasien yang ia tangani adalah anak-anak dengan luka akibat pecahan bom.
“Anak-anak adalah korban utama dari trauma fisik dan kelaparan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa kekurangan gizi memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan risiko infeksi karena luka tetap terbuka lebih lama. Ia sendiri dan tim medis hanya makan nasi untuk makan siang dan malam. “Kami masih beruntung dibanding banyak orang lain,” katanya. Salah satu rekan dokternya bahkan mengaku kehilangan 26 kilogram selama beberapa bulan terakhir.
Georgalas menambahkan, banyak dokter belum menerima gaji selama setahun. Mereka harus bekerja tanpa perlindungan, tinggal di tenda, dan sewaktu-waktu harus mengungsi demi keselamatan.
“Mereka kelaparan, khawatir terhadap nyawa keluarga mereka, tapi tetap bertugas,” ujarnya.
Kini, setelah ia meninggalkan Gaza, koleganya mengabarkan bahwa ICU rumah sakit “selalu penuh” dan “kewalahan”. Banyak pasien membutuhkan alat bantu napas, tetapi fasilitas terbatas membuat dokter harus memilih siapa yang mendapat perawatan lebih dulu.
Situasi kemanusiaan di Gaza kini berada di titik nadir—di mana rasa lapar tak hanya mengancam nyawa, tetapi juga menghapus batas antara harapan dan keputusasaan.
… Selengkapnya