:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5263122/original/091243500_1750771756-TNGR_1.jpg)
Liputan6.com, Sao Paolo – Jenazah Juliana Marins yang meninggal setelah jatuh di jalur Gunung Rinjani, di Indonesia, telah menjalani autopsi ulang Rabu (2/7) sejak pukul 08.30 di Institut Medis Forensik Afrânio Peixoto (IML), di pusat kota Rio de Janeiro.
Autopsi jenazah Juliana Marins selesai diautopsi ulang sekitar dua jam.
Autopsi turis Brasil yang tewas di Gunung Rinjani itu dilakukan oleh para ahli dari Polisi Sipil, dengan kehadiran seorang ahli federal dan perwakilan keluarga. Ahli forensik Nelson Massini, seorang profesor kedokteran forensik, disewa oleh kerabat Juliana untuk mengawasi pemeriksaan.
Mariana Marins, saudara perempuan Juliana, tiba di IML sekitar pukul 09.40.
Keluarga tersebut berhasil melakukan autopsi ulang di Pengadilan Federal, dengan dukungan dari Kantor Pembela Umum Federal.
Alasannya, menurut pembela Taísa Bittencourt Leal Queiroz, yang bertanggung jawab atas permintaan tersebut, adalah “kurangnya klarifikasi tentang penyebab dan saat pasti kematian korban” di Gunung Rinjani dalam laporan yang dirilis oleh kepolisian Indonesia setelah autopsi yang dilakukan di negara tersebut.
“Kami perlu tahu apakah autopsi yang dilakukannya dilakukan dengan baik. Menurut saya, rumah sakit tidak memiliki banyak sumber daya,” kata ayah Juliana, Manoel Marins, dalam sebuah wawancara dengan RJ2 seperti dikutip dari Globo, Jumat (3/7/2025).
Kantor Pembela Umum Federal juga mengirim surat yang meminta Kepolisian Federal untuk membuka penyelidikan atas kasus tersebut.
Laporan awal akan dirilis dalam waktu tujuh hari. Harapannya, laporan ahli yang baru akan menjelaskan tanggal dan waktu kematian Juliana, selain menyelidiki kemungkinan kegagalan pemerintah setempat dalam menyediakan bantuan.
Adapun pemakaman Juliana akan dilakukan di Pemakaman Parque da Colina, di Pendotiba, Niterói pada Jumat 4 Juli 2025.
Indonesia Terancam Diadili Secara Internasional?
… Selengkapnya
Laporan globo menyebut autopsi baru terhadap jenazah Juliana Marins yang atas permintaan keluarga, dapat menentukan apakah otoritas Brasil akan meminta penyelidikan internasional terkait keadaan kematiannya di Gunung Rinjani, Indonesia. Informasi tersebut diberikan oleh Taísa Bittencourt, pembela HAM regional di Kantor Pembela Umum Federal (DPU), dalam sebuah wawancara dengan g1.
DPU meminta pada hari Senin (30/6) agar Kepolisian Federal (PF) menyelidiki apakah ada tindak pidana kelalaian dalam penelantaran Juliana oleh otoritas Indonesia. Jika hal ini dikonfirmasi, kasus tersebut dapat dibawa ke badan-badan internasional, seperti Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR), di Washington.
“Kami menunggu laporan [yang dibuat oleh pihak berwenang Indonesia] dan begitu laporan itu tiba, kami akan menentukan langkah selanjutnya. Autopsi kedua ini adalah sesuatu yang diinginkan keluarga Juliana. Namun, mereka belum memutuskan apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya. Kami akan mendukung keluarga sesuai dengan hasil laporan dan apa pun yang mereka putuskan,” kata Taíssa.
Keputusan untuk melakukan autopsi ulang dikonfirmasi pada hari Senin (30/6) oleh pemerintah federal. Kantor Jaksa Agung (AGU) mengatakan akan secara sukarela memenuhi permintaan keluarga. Badan tersebut meminta Pengadilan Federal untuk mengadakan sidang darurat dengan DPU dan pemerintah RJ untuk menentukan bentuk yang paling tepat untuk prosedur baru tersebut.
“Sangat penting [bahwa analisis baru dilakukan pada jenazah] untuk mengklarifikasi penyebab kematian. Itu adalah cara untuk memastikan bahwa keluarga menerima penilaian dalam kerangka hukum Brasil.”
Keluarga meminta autopsi ulang untuk mengonfirmasi waktu kematian dan menyelidiki apakah ada kegagalan dalam memberikan bantuan oleh pihak berwenang Indonesia.
Autopsi Pertama di Bali
… Selengkapnya
Adapun autopsi pertama dilakukan pada hari Kamis (26/6) di sebuah rumah sakit di Bali, tak lama setelah jenazahnya dikeluarkan dari Taman Nasional Gunung Rinjani.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, perempuan asal Brasil itu meninggal dunia akibat banyaknya patah tulang dan luka dalam, tidak mengalami hipotermia, dan bertahan hidup selama 20 menit pascatrauma, tanpa menyebutkan hari terjadinya trauma tersebut.
Keterangan tersebut disampaikan oleh dokter forensik Ida Bagus Putu Alit, dalam jumpa pers di lobi RS Bali Mandara, Jumat (27/6).
“Bukti-bukti menunjukkan bahwa kematiannya hampir seketika. Mengapa? Karena lukanya sangat parah, banyaknya patah tulang, luka dalam, hampir di seluruh tubuh, termasuk organ dalam di rongga dada. [Dia bertahan hidup] kurang dari 20 menit,” kata dokter tersebut.
Keterbukaan hasil pemeriksaan tersebut menuai kritik dari pihak keluarga Juliana. Mariana Marins mengatakan bahwa pihak keluarga sempat dipanggil ke rumah sakit, tetapi jumpa pers telah dilakukan sebelumnya.
“Kekacauan dan absurditas. Keluarga saya dipanggil ke rumah sakit untuk menerima laporan, tetapi sebelum mereka sempat mengaksesnya, dokter berpikir sebaiknya mengadakan konferensi pers untuk memberi tahu semua orang bahwa dia akan memberikan laporan sebelum memberi tahu keluarga saya. Ini absurditas demi absurditas dan tidak ada habisnya,” kata Mariana.