:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5193560/original/056091400_1745230852-Untitled.jpg)
Liputan6.com, Vatican City – Wakil Presiden Amerika Serikat (Wapres AS) JD Vance tercatat menjadi pejabat asing terakhir yang bertemu dengan Paus Fransiskus sebelum Bapa Suci meninggal pada Senin (21/4/2025) pagi.
“Pukul 07.35, Uskup Roma, Fransiskus, kembali ke rumah Bapa. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk melayani Tuhan dan Gereja-Nya,” bunyi pengumuman camerlengo yang dijabat Kardinal Kevin Ferrell seperti dilansir AP.
Wapres Vance bertemu secara singkat dengan Paus Fransiskus pada Minggu (20/4), setelah sebelumnya keduanya terlibat ketegangan jarak jauh terkait rencana deportasi imigran oleh pemerintahan Donald Trump.
Paus berusia 88 tahun itu memberikan tiga telur Paskah cokelat besar untuk ketiga anak Vance —yang tidak hadir— serta dasi Vatikan dan rosario.
“Saya tahu Bapa Suci belum merasa sepenuhnya pulih, tetapi senang melihat kondisi Bapa membaik,” kata Vance kepada Paus Fransiskus seperti dikutip dari AP. “Terima kasih atas waktu pertemuan ini.”
Iring-iringan mobil Vance memasuki Kota Vatikan melalui pintu samping saat Misa Paskah berlangsung di Lapangan Santo Petrus. Paus Fransiskus mendelegasikan perayaan Misa tersebut kepada kardinal lain.
Vatikan menyatakan mereka bertemu selama beberapa menit di Domus Santa Marta, gedung tempat tinggal di dalam Vatikan yang berfungsi sebagai residensi bagi Paus dan tamu-tamu penting, “untuk bertukar salam Paskah“.
Kantor Vance menyebutkan sang wapres AS menyampaikan rasa terima kasih kepada Paus Fransiskus atas undangan pertemuan di Hari Paskah serta keramahan Vatikan terhadap keluarganya.
“Saya berdoa untuk Bapa setiap hari,” ujar Vance saat berpamitan. “Tuhan memberkati.”
Seluruh kunjungan Vance di wilayah Vatikan hanya berlangsung 17 menit. Usai pertemuan, dia bersama keluarganya menghadiri Misa Paskah di Basilika St. Paulus, salah satu dari empat basilika kepausan di Roma. Keluarga Vance juga mengunjungi makam St. Paulus yang dipercaya berada di sana.
Merespons kabar Paus Fransiskus meninggal, Vance menulis di akunnya di platform media sosial X, “Saya baru saja mendengar kabar wafatnya Paus Fransiskus. Saya turut berduka bagi jutaan umat Kristiani di seluruh dunia yang mencintainya.”
“Saya bahagia bisa bertemu dengannya kemarin, meski terlihat jelas bahwa kondisinya sangat lemah. Namun, saya akan selalu mengenangnya lewat homili indah yang dia sampaikan di awal-awal masa pandemi COVID. Sungguh luar biasa.”
“Semoga Tuhan menerima jiwanya,” imbuhnya.
Ketegangan soal Isu Imigran
… Selengkapnya
Vance, yang berpindah keyakinan menjadi Katolik pada 2019, sebelumnya berselisih pandang dengan Paus Fransiskus terkait isu migran dan rencana pemerintahan Trump untuk mendeportasi imigran secara massal. Adapun Paus Fransiskus menjadikan perlindungan terhadap migran sebagai ciri utama kepausannya.
Beberapa hari sebelum dirawat di rumah sakit pada Februari lalu, Paus Fransiskus mengecam rencana deportasi itu dan memperingatkan bahwa hal tersebut akan merampas martabat dasar para migran. Dalam suratnya kepada para uskup AS, Fransiskus juga seolah menanggapi langsung pernyataan Vance yang mengklaim doktrin Katolik membenarkan kebijakan semacam itu.
Vance menghormati kritik Paus Fransiskus, namun tetap berpegang pada pendapatnya sendiri. Meski demikian, dia mengaku menyadari bahwa dia masih belajar tentang iman Katolik karena tergolong baru dalam agama tersebut.
Sehari sebelumnya, Vance bertemu dengan Menteri Luar Negeri Vatikan Kardinal Pietro Parolin dan Uskup Agung Paul Gallagher.
Menurut keterangan kantor Vance, dia dan Parolin “mendiskusikan keyakinan agama mereka sebagai sesama Katolik, perkembangan Katolik di AS, penderitaan komunitas Kristen yang teraniaya di dunia, serta komitmen Presiden Trump untuk memulihkan perdamaian global.”
Sementara itu, Vatikan menyatakan terjadi “pertukaran pendapat” termasuk soal migran, pengungsi, dan konflik terkini.
Takhta Suci disebut bersikap hati-hati dalam merespons pemerintahan Trump sembari berupaya mempertahankan hubungan produktif sesuai tradisi netralitas diplomatiknya, terus menyuarakan keprihatinan atas kebijakan keras terhadap migran dan pemotongan bantuan internasional oleh AS, hingga mendorong penyelesaian damai untuk perang di Ukraina dan Jalur Gaza.