:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1687351/original/050335700_1503391102-diamondrains.jpg)
Liputan6.com, Jakarta – Setelah para ilmuwan menemukan bahwa karbon yang berada jauh di dalam mantel planet Merkurius dapat berubah menjadi berlian dalam kondisi ekstrem. Para ilmuwan juga menduga bahwa fenomena hujan berlian benar-benar terjadi di Neptunus dan Uranus.
Melansir laman IFL Science pada Kamis (01/05/2025), Neptunus dan Uranus dikenal sebagai planet ”raksasa es” karena lapisan terluarnya terdiri atas senyawa-senyawa es seperti air, amonia, dan metana, yang membeku dalam suhu sangat rendah. Warna kebiruan khas kedua planet ini berasal dari kandungan metana di atmosfer, yang menyerap cahaya merah dan memantulkan cahaya biru.
Namun, bagian dalam dari planet-planet ini jauh dari dingin dan beku. Sebaliknya, suhu dan tekanan yang ekstrem di bawah atmosfernya justru menciptakan kondisi yang luar biasa untuk proses fisik yang unik.
Para ilmuwan menduga bahwa di kedalaman ribuan kilometer di bawah permukaan Uranus dan Neptunus, tekanan bisa mencapai jutaan kali tekanan atmosfer bumi, dan suhunya bisa melampaui ribuan derajat Celsius. Dalam kondisi ekstrem ini, senyawa hidrokarbon seperti metana (CH₄) akan terurai.
Atom karbon yang terlepas dari senyawa ini dapat berikatan dan membentuk struktur kristal yakni berlian. Kristal-kristal kecil berlian ini kemudian ‘turun’ seperti hujan ke arah inti planet akibat gravitasi, membentuk fenomena yang dikenal sebagai diamond rain atau hujan berlian.
Penelitian mengenai hal ini dilakukan melalui simulasi laboratorium, salah satunya oleh tim ilmuwan dari SLAC National Accelerator Laboratory di AS. Dengan menggunakan teknologi laser sinar-X dari LINAC Coherent Light Source (LCLS), para peneliti menembakkan gelombang ke bahan plastik yang menyerupai komposisi metana.
Hasilnya menunjukkan bahwa karbon bisa bertransformasi menjadi berlian dalam waktu sepersekian detik. Hal ini memperkuat dugaan bahwa fenomena serupa bisa terjadi secara alami di dalam planet raksasa es.
Stabil
Lebih lanjut, simulasi tersebut menunjukkan bahwa berlian-berlian tersebut tidak hanya terbentuk, tetapi juga mungkin tetap stabil dan terus turun selama ribuan tahun, bahkan membentuk lapisan ‘lautan’ berlian di sekitar inti planet. Menariknya, karena suhu yang lebih rendah dibandingkan planet gas raksasa seperti Jupiter dan Saturnus, Neptunus dan Uranus memiliki kondisi yang lebih ideal untuk fenomena ini.
Meski begitu, hingga saat ini, belum ada bukti langsung berupa pengamatan atau data empiris dari permukaan kedua planet tersebut. Misi Voyager 2 yang diluncurkan NASA pada 1989 menjadi satu-satunya misi luar angkasa yang pernah mendekati Neptunus dan Uranus secara langsung.
Data dari misi ini sangat terbatas dan belum mampu mengonfirmasi fenomena hujan berlian secara pasti. Neptunus berada lebih dari 30 kali jarak bumi dari matahari dan merupakan satu-satunya planet di Tata Surya yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dari bumi.
Sementara itu, Uranus belum pernah dikunjungi oleh wahana antariksa mana pun selain pengamatan jarak jauh. Hal ini menjadikan informasi kita tentang struktur internal dan dinamika atmosfer kedua planet masih sangat terbatas.
Untuk menjawab misteri ini, sejumlah ilmuwan dan badan antariksa dunia mendorong peluncuran misi eksplorasi baru ke Uranus dan Neptunus. NASA, misalnya, telah mempertimbangkan pengembangan misi Ice Giants dalam beberapa dekade mendatang.
Misi ini bertujuan untuk mempelajari komposisi, medan magnet, atmosfer, dan mungkin bahkan fenomena unik seperti hujan berlian di dalamnya. Jika berhasil, ini akan menjadi lompatan besar dalam pemahaman kita terhadap planet-planet raksasa es dan dinamika ekstrem yang terjadi di luar angkasa.
(Tifani)