:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4832796/original/009938400_1715771402-Screenshot_2024-05-15_174458.jpg)
Liputan6.com, Jakarta – Trappist-1e merupakan salah satu exoplanet yang menjadi sorotan utama para astronom dalam misi pencarian kehidupan di luar bumi. Planet ini ditemukan pada 2017 oleh tim astronom yang menggunakan teleskop TRAPPIST (Transiting Planets and Planetesimals Small Telescope) di Chili.
Sejak itu, planet ini menjadi subjek penelitian mendalam oleh ilmuwan di seluruh dunia. Trappist-1e adalah bagian dari sistem bintang TRAPPIST-1, yang terdiri dari tujuh planet berbatu dengan ukuran serupa bumi.
Melansir laman Space pada Senin (05/05/2025), Trappist-1e terletak sekitar 40 tahun cahaya dari bumi, di konstelasi Aquarius. Planet ini mengorbit bintang katai merah yang kecil dan dingin.
Menariknya, planet ini menempati zona layak huni, wilayah di sekitar bintang tempat suhu cukup hangat agar air tetap dalam bentuk cair di permukaan planet. Keberadaan air dalam bentuk cair merupakan salah satu syarat utama bagi kehidupan seperti yang kita kenal di Bumi.
Trappist-1e memiliki ukuran yang sangat mirip dengan bumi, dengan diameter hanya sedikit lebih kecil. Planet ini menyelesaikan satu kali orbitnya dalam waktu sekitar 6,1 hari bumi, artinya satu tahun di Trappist-1e berlangsung hanya enam hari.
Meskipun terdengar ekstrem, hal ini tidak menjadikannya terlalu panas karena bintang induknya, TRAPPIST-1, memiliki suhu permukaan yang jauh lebih rendah dibandingkan matahari. Trappist-1e tergolong sebagai planet terestrial atau berbatu, seperti halnya bumi, Venus, Mars, dan Merkurius.
Kepadatan 2 Persen Lebih Tinggi
Kepadatan rata-ratanya hanya sekitar 2 persen lebih tinggi dibandingkan dengan bumi, yang menunjukkan bahwa komposisi interiornya kemungkinan serupa, terdiri dari besi dan silikat. Gravitasi permukaannya sekitar 82 persen dari gravitasi bumi, cukup kuat untuk menahan atmosfer jika memang ada.
Keberadaan atmosfer adalah faktor penentu dalam kelayakhunian suatu planet. Atmosfer melindungi permukaan planet dari radiasi berbahaya dan membantu menjaga suhu permukaan tetap stabil.
Untuk meneliti keberadaan atmosfer ini, para ilmuwan menggunakan teknik spektroskopi yang memanfaatkan data dari teleskop luar angkasa seperti James Webb Space Telescope (JWST), Kepler, dan Transiting Exoplanet Survey Satellite (TESS). Mereka menganalisis spektrum cahaya yang melewati atmosfer planet ketika melintas di depan bintangnya untuk mendeteksi keberadaan molekul seperti oksigen, metana, dan karbon dioksida, senyawa yang bisa mengindikasikan adanya kehidupan.
Namun hasil awal menunjukkan bahwa Trappist-1e mungkin sedang mengalami proses hilangnya atmosfer. Fenomena ini dikenal sebagai atmospheric stripping, dan disebabkan oleh aktivitas bintang induknya yang tinggi.
Karena planet ini berada sangat dekat dengan bintang, ia terpapar angin bintang dan radiasi ultraviolet yang kuat, yang dapat mengikis atmosfer secara bertahap. Menurut hasil pemodelan, arus listrik yang terbentuk akibat interaksi antara medan magnet planet dan partikel bermuatan dari bintang dapat mempercepat proses pengupasan atmosfer ini.
Jika kehilangan atmosfernya berlangsung terlalu cepat, Trappist-1e bisa menjadi planet yang gersang dan tak ramah bagi kehidupan, meskipun berada di zona layak huni. Dengan kata lain, zona Goldilocks tidak menjamin kelayakhunian jika tidak didukung oleh perlindungan atmosfer dan medan magnet.
Kendati demikian, studi terhadap Trappist-1e tetap memberikan wawasan penting. Planet ini berfungsi sebagai laboratorium alami bagi para ilmuwan untuk memahami kondisi yang memungkinkan atau menghambat munculnya kehidupan di luar Tata Surya.
Selain itu, planet ini memberi gambaran tentang seperti apa bumi kita di masa awal pembentukannya miliaran tahun lalu, dan bagaimana dinamika antara atmosfer, bintang induk, serta faktor geofisik dapat membentuk evolusi sebuah planet.
(Tifani)