:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2032413/original/089144100_1558666982-modi.jpeg)
Liputan6.com, Jakarta Perdana Menteri India Narendra Modi memperingatkan Pakistan pada Senin (12/5) bahwa India akan menargetkan “sarang teroris” di seberang perbatasan jika terjadi serangan lagi di negaranya. Dia menegaskan tidak akan mentolerir apa yang disebutnya “ancaman nuklir” Islamabad.
Dalam laporan AFP yang dikutip Selasa (13/5/2025), PM Modi berjanji akan memberikan respons keras terhadap segala serangan teroris di masa depan dan menekankan bahwa New Delhi tidak akan takut dengan ancaman senjata nuklir Pakistan jika konflik kembali terjadi.
Gencatan senjata yang diumumkan akhir pekan lalu—yang diklaim dibantu oleh Presiden AS Donald Trump—terpantau masih bertahan hingga Senin (12/5) setelah empat hari pertempuran sengit melibatkan jet tempur, rudal, drone, dan artileri. Ini merupakan eskalasi terburuk antara kedua negara pemilik nuklir sejak 1999.
Trump menyatakan intervensi AS telah mencegah “perang nuklir yang mengerikan”.”Kami menghentikan konflik nuklir… jutaan nyawa bisa melayang. Saya sangat bangga,” katanya di Gedung Putih.
Dalam pidato televisi pertamanya sejak konflik pecah Rabu (7/5) lalu, Modi menuduh Pakistan memilih menyerang alih-alih membantu memerangi “terorisme”.”Jika ada lagi serangan teroris terhadap India, kami akan membalas dengan keras,” tegasnya.
Konflik ini dipicu serangan terhadap turis di Kashmir yang dikelola India pada 22 April lalu, menewaskan 26 warga sipil. India menuduh Pakistan mendalangi serangan, tetapi Islamabad membantah terlibat.
Jalur Menuju Perang
Adapun etegangan memanas menjelang fajar hari Rabu (7/5) ketika India meluncurkan serangan rudal yang menghancurkan apa yang disebutnya “kamp teroris” di wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan. Kedua pihak kemudian saling tuduh melancarkan serangan jet tempur, drone, serta tembakan rudal dan artileri yang menewaskan sedikitnya 60 orang di kedua sisi.
“Jika Pakistan ingin bertahan, mereka harus menghancurkan infrastruktur terornya,” kata Modi. “India akan menyerang dengan presisi dan tegas terhadap kelompok teroris yang berlindung di balik ancaman nuklir.”
“Posisi India jelas: Teror dan dialog tidak bisa berjalan bersamaan… Teror dan perdagangan tidak bisa berjalan bersamaan… Air dan darah tidak bisa mengalir bersama.”
Pidato ini disampaikan setelah militer India melaporkan “malam pertama yang tenang dalam beberapa hari terakhir” di Kashmir sengketa dan sepanjang perbatasan barat dengan Pakistan.
Klaim Kemenangan dari Kedua Pihak
… Selengkapnya
Pejabat militer India dan Pakistan menggelar konferensi pers terpisah Minggu (11/5) malam, masing-masing mengklaim unggul dan memperingatkan siap membalas jika diserang lagi.
“Kami telah memenuhi janji kepada rakyat,” kata Juru Bicara Militer Pakistan Letnan Jenderal Ahmed Sharif Chaudhry, menyebutnya sebagai ”kemenangan di medan perang”.
Sementara Letjen India Rajiv Ghai menyatakan, ”Kami sangat menahan diri sejauh ini, dan tindakan kami terfokus, terukur, dan tidak provokatif.” Pakistan mengklaim telah menembak jatuh lima jet tempur India—klaim yang belum dikomentari New Delhi.
Pemulihan Pasca-Konflik
… Selengkapnya
Pada Senin (12/5), warga mulai kembali ke Poonch, kota perbatasan di Kashmir India yang termasuk wilayah terdampak terparah. Namun, ribuan sekolah di Kashmir Pakistan masih tutup sementara wilayah dibersihkan dari puing-puing serangan.
India sendiri telah membuka kembali 32 bandara yang sempat ditutup akibat konflik.
Sebagai informasi, aktivitas militan di Kashmir meningkat sejak 2019 ketika pemerintahan nasionalis Hindu Modi mencabut otonomi terbatas wilayah itu dan mengambil alih kendali langsung dari New Delhi. Kashmir, wilayah mayoritas Muslim yang terbagi, diklaim sepenuhnya oleh India dan Pakistan—keduanya telah beberapa kali berperang memperebutkannya sejak merdeka dari Inggris pada 1947.
Pejabat senior Pakistan dan India dilaporkan melakukan pembicaraan pada Senin (12/5) untuk memperkuat gencatan senjata. Abdul Basit dari S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura menyatakan diskusi kemungkinan membahas teknis gencatan, bukan kebijakan strategis.