:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4706528/original/067071500_1704381396-Ilustrasi_tekun__bekerja_keras__lembur.jpg)
Liputan6.com, Jakarta – Bekerja terlalu lama bukan hanya berdampak buruk pada kesehatan fisik, tapi juga bisa mengubah struktur otak manusia.
Hal itu terungkap dalam sebuah studi terbaru yang dilakukan dua ilmuwan dari Universitas Chung-Ang dan Universitas Yonsei di Korea Selatan, dan dipublikasikan pada Selasa lalu.
Penelitian tersebut menemukan perubahan signifikan pada otak individu yang mengalami beban kerja berlebihan—yakni kombinasi antara kelelahan fisik dan emosional serta kurangnya waktu istirahat.
Mengutip CNN, Sabtu (17/5/2025), studi ini melibatkan 110 tenaga kesehatan yang dibagi menjadi dua kelompok: mereka yang bekerja lebih dari 52 jam per minggu dan yang bekerja dalam jam kerja standar.
Di Korea Selatan sendiri, batas legal waktu kerja mingguan adalah 52 jam, menjadikan isu overworking sebagai perhatian serius dalam bidang kesehatan masyarakat.
Kelompok yang diklasifikasikan sebagai overworked terdiri dari 32 orang, umumnya lebih muda, berpendidikan lebih tinggi, dan memiliki masa kerja yang lebih singkat dibanding kelompok lainnya.
Dengan menggunakan teknik neuroimaging dan data pemindaian MRI, para peneliti dapat menganalisis volume otak dan membandingkan kadar materi abu-abu (gray matter) di berbagai bagian otak.
Dampak Jangka Panjang
… Selengkapnya
Hasilnya mengejutkan. Orang yang bekerja lebih dari 52 jam per minggu menunjukkan perubahan pada area otak yang berkaitan dengan fungsi eksekutif dan regulasi emosi, tidak seperti mereka yang bekerja dalam jam normal.
Beberapa bagian otak yang mengalami peningkatan volume antara lain middle frontal gyrus—yang berperan dalam fungsi kognitif, perhatian, memori, dan bahasa—serta insula, yang berperan dalam pengolahan emosi, kesadaran diri, dan pemahaman konteks sosial.
Para peneliti menyebut temuan ini sebagai bukti biologis adanya hubungan antara beban kerja berlebih dan gangguan kognitif maupun emosional yang sering dilaporkan oleh pekerja.
Sebelumnya, penelitian tahun 2021 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan bahwa kerja berlebihan menyebabkan lebih dari 745.000 kematian per tahun.
Jam kerja yang panjang juga dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes pada perempuan serta penurunan kemampuan kognitif.
Namun, studi-studi terdahulu lebih banyak menyoroti dampak perilaku dan psikologis, sementara penelitian baru ini memberikan bukti neurologis yang lebih kuat.
Meski cakupan studi ini terbatas pada tenaga kesehatan di Korea Selatan dengan sampel yang kecil, para pakar menilai temuan ini sangat relevan secara global. Jonny Gifford, peneliti senior di Institute for Employment Studies, Inggris, menyebut bahwa penggunaan pemindaian otak memberikan bukti kuat bahwa overworking berkaitan langsung dengan perubahan struktural otak.
“Ini menjadi langkah awal yang penting dalam memahami hubungan antara kerja berlebihan dan kesehatan otak,” ujar para peneliti.
… Selengkapnya