:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3027123/original/014608700_1579513839-the-hard-won-iran-nuclear-deal-has-been-threatened-with-collapse-since-the-united-states-withdrew-from-it-in-2018-and-reimposed-biting-sanctions-against-tehran-1563872287736-8.jpg)
Liputan6.com, Washington D.C – Amerika Serikat telah mengirimkan sebuah proposal kepada Iran untuk mencapai kesepakatan baru terkait program nuklir Teheran. Konfirmasi ini disampaikan Gedung Putih pada Sabtu (31/5), di tengah meningkatnya kekhawatiran dunia internasional atas kemajuan Iran dalam pengayaan uranium.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengatakan dirinya menerima “unsur-unsur dari proposal AS” yang disampaikan oleh Menlu Oman, Badr Albusaidi, dalam kunjungan singkat ke ibu kota Iran. Oman diketahui telah menjadi mediator dalam pembicaraan rahasia antara kedua negara sejak April lalu.
Pengiriman proposal ini dilakukan setelah laporan terbaru dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengungkap bahwa Iran telah meningkatkan produksi uranium yang diperkaya hingga kemurnian 60%—hanya selangkah lagi dari tingkat 90% yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir, dikutip dari laman BBC, Minggu (1/6).
Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyatakan bahwa menerima proposal ini adalah langkah terbaik bagi Iran. “Presiden Trump telah menegaskan bahwa Iran tidak akan pernah diizinkan memiliki bom nuklir,” ujarnya, merujuk pada kebijakan luar negeri mantan presiden tersebut yang tetap menjadi pedoman utama pemerintahan saat ini.
Menurut Leavitt, proposal yang dikirim melalui utusan khusus Presiden Trump, Steve Witkoff, disusun secara “terperinci dan dapat diterima.” Meski demikian, rincian isi proposal tersebut belum diungkap ke publik.
Menanggapi tawaran tersebut, Araghchi mengatakan bahwa Iran akan mempertimbangkannya secara seksama “berdasarkan prinsip, kepentingan nasional, dan hak-hak rakyat.” Pernyataan itu ia sampaikan melalui akun media sosial X (sebelumnya Twitter).
Sementara itu, laporan IAEA yang diperoleh BBC menunjukkan bahwa Iran kini memiliki lebih dari 400 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60%—jumlah yang cukup untuk membuat sekitar 10 bom nuklir apabila dimurnikan lebih lanjut. Angka ini jauh melampaui standar yang dibutuhkan untuk tujuan energi sipil dan penelitian.
Langkah Iran tersebut memicu kekhawatiran di antara negara-negara Barat. Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk meminta Dewan Gubernur IAEA menyatakan Iran telah melanggar kewajiban nonproliferasi.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyaksikan langsung UFC 314 di Miami, Florida. Sebelum menghadiri UFC 314, Donald Trump sempat berbicara dengan Iran soal program nuklirnya.
Klaim Iran
… Selengkapnya
Namun Iran bersikeras bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan damai. Media pemerintah Iran bahkan menyebut laporan IAEA sebagai “bermotif politik” dan berisi “tuduhan yang tidak berdasar.” Pemerintah Iran juga memperingatkan bahwa mereka akan mengambil “langkah-langkah yang sesuai” jika Dewan Gubernur mengambil tindakan terhadap Teheran dalam pertemuan mendatang.
Meskipun proses negosiasi antara Iran dan AS masih berlangsung, laporan IAEA tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa Iran telah memperlambat program pengayaan nuklirnya. Dalam tiga bulan terakhir, Iran disebut mampu memproduksi uranium yang cukup untuk satu senjata nuklir setiap bulan.
Pejabat intelijen AS memperkirakan bahwa jika Iran memutuskan untuk membuat senjata, mereka dapat memproduksi bahan tingkat senjata dalam waktu kurang dari dua minggu dan merakit bom dalam hitungan bulan.
Iran telah lama menyangkal tuduhan bahwa mereka tengah mengembangkan senjata nuklir. Namun IAEA mengaku tidak dapat memverifikasi klaim tersebut, mengingat keterbatasan akses ke fasilitas nuklir Iran dan belum adanya jawaban dari Teheran terkait sejumlah pertanyaan mengenai aktivitas nuklir masa lalunya.
Trump Tarik Diri dari JCPOA
… Selengkapnya
Situasi ini memperkuat urgensi diplomasi baru setelah kesepakatan nuklir sebelumnya—Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)—dibatalkan secara sepihak oleh Presiden Donald Trump pada 2018. Trump menyebut kesepakatan 2015 itu sebagai “perjanjian yang buruk” karena bersifat sementara dan tidak mencakup program rudal balistik Iran.
Sejak saat itu, Trump menerapkan kembali sanksi keras terhadap Iran dalam kebijakan “tekanan maksimum” yang bertujuan memaksa Teheran menyepakati perjanjian baru yang lebih luas. Namun, kebijakan tersebut justru mendorong Iran untuk melampaui batas-batas yang ditetapkan dalam JCPOA dan mempercepat program nuklirnya.
Trump bahkan pernah memperingatkan bahwa jika jalur diplomasi gagal, opsi militer terhadap fasilitas nuklir Iran tetap ada di meja.
Kini, dengan proposal baru yang telah diajukan, dunia menanti bagaimana Iran akan merespons tawaran tersebut—apakah akan membuka jalan bagi kesepakatan damai baru, atau justru membawa konflik ke tingkat yang lebih berbahaya.
… Selengkapnya